Nanti

Namanya Jade, Ia akan berusia 22 tahun dalam sebulan. Jade tinggal di sebuah apartemen studio sempit di lantai lima dengan jendela besar yang nyaris tidak ada gunanya sama sekali. Satu-satunya pemandangan yang dapat Ia nikmati dari jendela kamarnya adalah bagian belakang papan reklame raksasa yang menghadap ke sebuah jalanan lebar menanjak satu arah. Menyebalkan memang, namun apa boleh buat? Mendapatkan kamar sewa dengan harga miring seperti itu di tengah ibu kota sudah merupakan sebuah keberuntungan.

Ponsel Jade berdenting, memecah fokusnya yang telah berkutat di depan layar monitor sejak tiga jam yang lalu. Ia kemudian meraih ponselnya dan mendapati pengingat salat malam yang rutin Ia lakukan. Jade lantas bangkit dari kursi putar hidrolik. Rodanya bergeser pelan, mengeluarkan suara seret halus di atas lantai keramik yang selalu terasa sejuk.

Lima menit kemudian, Jade kembali ke meja kerjanya dengan perasaan segar sekaligus lega. Dua hal yang selalu Ia rasakan setiap kali selesai berbicara kepada Tuhan. Ia kemudian meraih minuman kaleng di samping monitor dengan hati-hati, berusaha agar bulir-bulir embun di luar kaleng yang sudah tidak lagi dingin itu tidak menetes jatuh ke atas papan ketik.

Waktu menunjukkan pukul 1:09 dini hari. Namun, kota ini seperti tidak pernah tidur. Pantulan sorot lampu dari kendaraan-kendaraan yang melintas, membias samar melalui kaca jendela; bergantian menyapu langit-langit kamar Jade.

Tak lama, ponsel Jade kembali berbunyi. Kali ini merupakan panggilan masuk dari pacarnya, Sean, yang tinggal di belahan dunia lain. Waktu mereka terbalik seperti siang dan malam. Namun, dikarenakan Jade bekerja untuk perusahaan yang berlokasi di negara tempat Sean berada, waktu istirahat kerja Sean berarti waktu istirahat Jade juga.

“Good morning, babe.” Sapa suara berat favorit Jade di seberang telepon. Walaupun secara teknis pukul satu dini hari memang termasuk pagi (buta), tapi kapan pun mereka menelepon, hal pertama yang akan keluar dari mulut masing-masing adalah ucapan selamat pagi.

Setelah pertukaran kabar yang berlangsung kurang dari lima menit, panggilan ditutup. Sean melanjutkan makan siangnya dan suasana hening kembali menyelimuti atmosfer kamar Jade. Menyisakan dengung pelan suara kipas lemari es yang berada tepat di samping meja kerja. Barangkali, kalau suasana hatinya digambarkan ke dalam sebuah diagram garis, aku berani  kurva itu akan melonjak tinggi dan bahkan meledak keluar dari grafik hanya ketika Jade berbicara dengan pujaan hatinya.

Air mata mulai menumpuk di pelupuk mata Jade kala Ia melihat foto pacarnya yang menawan terpampang indah di layar kunci. Betapa Ia mencintai laki-laki itu, tetapi  jarak dan perbedaan kerap kali membuatnya sedih. Masalahnya, perbedaan di sini bukan sekedar beda hobi atau beda zona waktu. Ini soal beda arah hidup. Ketika Jade menganggap hidup pada dasarnya hanyalah menunggu waktu salat, pacarnya justru tidak mempercayai keberadaan Tuhan sama sekali.

Seseorang pernah berkata, “Pacaran beda agama itu seperti menonton pertandingan sepak bola dua kali. Kita tahu akhirnya akan seperti apa, tetapi kita tetap menontonnya sampai akhir.”

Itu baru beda agama, belum pacaran beda keyakinan secara harfiah. Jade merasa hubungan yang tengah Ia jalani merupakan sebuah bom waktu karena Ia tahu, suatu saat Ia akan dipaksa untuk memilih: terus bertahan dan menekan suara hati sedalam yang Ia bisa, atau melepaskan dan merasakan kehampaan yang sangat menyesakkan.

Pertanyaannya adalah, jika Ia memutuskan untuk tetap bertahan di tengah perbedaan, apakah Ia akan hidup dengan damai tanpa rasa sedih yang terus menggerogoti kebahagiaannya? Dan kalau pada akhirnya Ia memutuskan untuk berpisah, akankah Ia sanggup Kehilangan hal yang paling berharga dalam hidupnya? Kehilangan sebagian dari dirinya?

Pertanyaan-pertanyaan itu terlalu berat untuk Ia jawab sekarang. Sehingga, lagi-lagi Jade menyudahi tangisnya dan berkata pada dirinya sendiri, “Let’s stress about this later.” Dengan penuh kesadaran akan rasa sakit yang nanti Ia hadapi sebagai konsekuensi dari menunda keputusan besar itu. Bagaimana pun, Ia hanya ingin memberi kesempatan pada sesuatu yang Ia tahu sangat berharga.

Jade ingin memastikan bahwa apa yang Ia rasakan selama ini bukanlah ilusi semata. Ia ingin menghadirkan realitas ke dalam cinta yang selama ini hidup di layar, suara, dan imajinasi. Dan saat waktunya benar-benar tiba—saat mereka benar-benar bertemu—apa pun yang akan Ia rasakan nanti, entah itu penegasan atau pelepasan, setidaknya  Ia tahu satu hal: Ia pernah memperjuangkan cintanya dengan tulus.

Perihal apakah Ia akan menemukan laki-laki yang lebih baik daripada Sean, itu urusan belakangan. Walaupun jauh di lubuk hatinya Jade tahu betul bahwa kecil kemungkinannya Ia akan menemukan laki-laki yang bahkan setara dengan Sean.

Jade tidak sanggup untuk sekedar membayangkan dirinya kembali memulai semuanya dari awal. Membuat ulang profil menarik di aplikasi kencan daring lagi. Menghabiskan waktu berjam-jam menggeser kartu-kartu profil dengan jempolnya itu melelahkan, dan mahal. Belum lagi menjawab pertanyaan-pertanyaan basi laki-laki yang tak jarang membuatnya ingin membanting ponsel. Kemudian Ia harus kembali menjelaskan ulang apa yang Ia suka dan tidak suka, menyebut makanan favoritnya, film yang membuatnya menangis, atau kenapa Ia menyukai aroma tembakau dari gulungan rokok tapi laki-laki perokok bukan tipenya.

Ia tidak ingin kembali membuka luka-luka lama yang sudah Ia bungkus rapat, hanya demi dipahami oleh orang baru yang belum tentu bertahan lama.

Jade tidak ingin siapa-siapa lagi. Kalau Sean bukan untuknya, maka biarlah tidak ada seorang pun untuknya. Ia akan menjadi seekor kupu-kupu malam yang hinggap dari satu laki-laki ke laki-laki lain. Bukan karena Ia tidak tahu benar dan salah, tapi karena Ia lelah dengan semuanya. Lebih baik mati rasa dan rusak sekalian daripada terus berharap dan hancur sedikit demi sedikit. Jade masih akan tetap berdoa dan memohon ampun. Apakah tuhan akan memaafkannya atau tidak, she'd stress about it later.